A.The Nature of Tortious Liability
Tort harus secara jelas dibedakan dengan tindakan kriminal dan dengan pelanggaran dari suatu kontrak (breach of contract). Namun satu tindakan atau satu perlakuan dapat menimbulkan baik tindakan kriminal maupun tindakan tort.
Suatu tort (menurut hukum Inggris) merupakan suatu kesalahan perdata (a civil wrong). Dalam hukum Inggris, hingga saat ini belum ada definisi pasti untuk “torts”. Namun secara sederhana dan umum, torts dapat didefinisikan sebagai:“Breaches fo rights owed to people as a whole, as distinct from breaches of contract, which can affect onley parties to the agreement”
Torts adalah penyimpangan atau pelanggaran atas kewajiban seseorang sebagai seorang yang berada di masyarakat sipil yang menyebabkan orang lain dapat menuntut untuk memperoleh ganti rugi karena:
*kerusakan harta benda
* luka badan/injury
UU Indonesia juga tidak memberikan definisi dari “perbuatan melawan hukum” (atau “perbuatan melanggar hukum). Perumusan “perbuatan melawan hukum” yang dipelopori oleh Molengraaff adalah:“Perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau kealpaan, yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau bertentangan baik dengan kesusilaan maupun dengan sikap hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda”
Dasar hukum dari kewajiban dalam tort (perbuatan melawan hukum):
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan:
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”
*-Ganti rugi dalam tort biasanya dalam bentuk uang yang besarnya ditetapkan oleh pengadilan (court)
*-Besarnya ganti rugi ditetapkan dengan maksud untuk menempatkan pihak yang menderita pada posisi sebagaimana sebelum tindakan tort tersebut terjadi yang umumnya diukur secara murni dengan nilai uang.
*-Sangat jarang yang dalam bentuk exemplary damages, yaitu ganti rugi yang bersifat punishment terhadap pelanggar, yaitu dimaksudkan bahwa beban ganti rugi yang dibebankan kepada pelanggar bersifat hukuman sebagai tambahan dari compenstory damages yang bersifat penggantian, agar pelanggar tidak mengulang perbuatannya yang salah tersebut.
Perbedaan lainnya dengan kriminal adalah bahwa untuk kriminal, proses pengadilan dilakukan atau dibawa atas nama Crown (negara) tanpa memandang apakah pihak yang dirugikan menuntut atau tidak, dan apabila setelah diproses maka satu-satunya yang dapat menghentikan adalah Attorney General (Pengacara dari pemerintah) yang sangat jarang dilakukan. Sementara dalam tort proses pengadilan seluruhnya tergantung dari pihak yang menderita apakah dia ingin menuntut atau tidak, dan proses pengadilan dapat dihentikan dari pencabutan gugatan dari penggugat yang bisa disebabkan oleh suatu penyelesaian di luar pengadilan, misalnya secara kompromi.
Perbedaan Tort dengan Breach of contract adalah:
Breach of contract: adalah pelanggaran kewajiban yang ada dalam kontrak di mana akibatnya hanya diderita oleh pihak yang berada dalam kontrak, sementara dalam Tort adalah pelanggaran kewajiban terhadap semua orang yang merupakan tetangganya (neighbour) dalam pengertian yang luas.
Ganti rugi dalam Tort hanya dalam bentuk unliquidated damages sementara dalam Breach of contract bisa dalam Unliquidated damages atau liquidated damages atau kedua-duanya.
Liability dalam kontrak sangat ketat (strict) artinya jika ada penyimpangan dalam kontrak,maka itu sudah merupakan breach of contract dan mengakibatkan si pelanggar bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi tanpa memandang siapa pelaku dari penyimpangan tersebut. Sementara dalam tort, tanggung jawabnya akan tergantung dari seberapa besar kesalahan yang dilakukannya, misalnya seorang telah melakukan perbuatan tort atau mengakui perbuatan secara sengaja (intentionally) atau secara lalai (negeligence), maka dia tidak akan dituntut untuk bertanggung jawab atas kejadian yang disebabkan oleh perbuatannya itu, kecuali ada pihak yang menderita kerugian harta benda atau luka badan.
Namun adakalanya dalam beberapa kasus dalam tort yang tidak memerlukan kerusakan harta benda atau luka badan tetapi si pelaku dalam tort tetap dituntut (akan dibicarakan secara rinci dalam strict liability).
Proses pengadilan dalam Tort umumnya diajukan oleh penggugat. Bisa ditarik kapan saja atas permintaan penggugat dan bisa terjadi sudah diselesaikan di luar pengadilan. Sedangkan dalam breach of contract, dibawa ke pengadilan oleh yang terlibat dalam perjanjian.
Tanpa mengabaikan perbedaan tersebut di atas, maka dalam situasi atau kasus tertentu bisa terjadi kedua-duanya dalam satu kejadian yang melibatkan tort dan breach of contract.
Misalnya:
Seorang yang menyewa taksi untuk pergi ke suatu tempat yang telah direncanakan. Dalam perjalanan sopir melakukan kelalaian (negligence) yang mengakibatkan kecelakaan dan melukai penumpangnya.
Dalam kasus ini penumpang dapat menuntut sopir baik
(1) berdasarkan kontrak yang tidak tertulis (implied contractual conditions) yaitu pelanggaran terhadap
kewajiban untuk mengantar penumpangnya sampai ke tempat tujuan yang telah direncanakan, atau
(2) berdasarkan tort atas kelalaian (negligence) dari sopir.
B.General Conditions of Tortious Liability
Dalam arti yang sangat luas, dapat dikatakan bahwa seseorang mempunyai hak untuk melindungi dirinya, harta bendanya dan reputasinya. Sesuatu yang mengganggu/mengusik hal-hal yang dilindunginya tersebut disebut dengan Tort. Namun dia mempunyai hak termaksud hanya apabila dapat dibenarkan dan diakui oleh pengadilan (court), jadi misalnya: Seseorang mempunyai hak untuk menuntut apabila dia dianiaya atau dipukul, tetapi English Law (Hukum Inggris) tidak mengakui hak yang menyangkut masalah pribadi, sehingga kasus semacam ini akan diselesaikan dalam kasus tort yang berbeda yaitu dalam a heterogenous collection of torts ketimbang dalam general principle of tortious.
Hargreaves vs. Bretherton (1858)
Penggugat mengemukakan ke pengadilan bahwa tergugat berkata bohong dalam kesaksian (perjury) yang menyebabkan penggugat dihukum dalam penjara. Dalam kasus ini diputuskan bahwa penggugat tidak punya hak untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan karena hukum tidak mengenal perjury dalam tort (walalupun perjury adalah tindakan kriminal).
Damnum sinne injuria (loss without any means of redress)
Apabila seseorang menderita kerugian dari sesuatu sebab yang tidak diakui oleh hukum untuk melakukan tuntutan berdasarkan tort ke dalam pengadilan, misalnya seorang pedagang yang kehilangan pelanggan karena ada tetangganya yang berdagang dan menjadi pesaing, peristiwa semacam disebut sebagai Damnum sinne injuria yaitu kerugian tanpa ada penggantian secara finansial.
Injuria Sinne Damnum
Namun sebaliknya dalam beberapa kasus dalam Tort seperti nuisance, trespass dan defamation di mana dalam hal ini hak seseorang diganggu/diusik maka dia berhak menuntut ganti rugi walaupun kerugiannya tidak dapat dihitung secara nominal atau tidak ada kerugian secara finansiil.Namun demikian untuk kasus semacam merupakan pengecualian bahwa agar kasusnya dapat dimenangkan di pengadilan dia harus dapat menunjukkan bahwa kerugian yang dideritanya dapat diganti dengan nilai uang (monetary terms).
Jika seseorang bertanggung jawab dalam tort, hal ini dapat terjadi karena tindakan yang dilakukan secara :
*-sengaja (intentionally or deliberately),
*-lalai (negligently),
*-tidak sengaja (innocently)
Sebagai contoh:
Seseorang yang diinterview di televisi, membuat suatu pernyataan yang menjatuhkan martabat orang lain (defamatory action), dia melakukan hal ini bisa secara sengaja (dileberately) atau secara lalai (negligently) dalam artian dia tidak melakukan pengecekan apakah pernyataan yang dia buat tersebut benar atau tidak
benar (kalau benar berarti bukan defamation). Dalam hal ini pihak penyelenggara siaran juga dapat dituntut dan bertanggung jawab atas defamation tersebut, walaupun pihak penyelenggara tidak mengetahui telah terjadi tindakan yang bersifat defamatory tersebut dalam wawancara.
Negligence merupakan unsur yang paling sering dalam kasus torts, misalnya: seseorang melakukan trespass atau nuisance karena lalai (negligently) akan dibedakan dengan yang dilakukan secara sengaja (deliberately). Tetapi negligence dalam definisi yang sebenarnya, merupakan salah satu dari Torts itu sendiri yang merupakan unsur utama dari setiap kasusu torts agar dapat dibawa ke pengadilan.
Jika seseorang bertanggung jawab dalam tort walaupun dia bukan melakukan hal yang salah, secara tegas dia tetap bertanggung jawab (strict liability), sebagaimana dalam kasus klasik Rylands vs. Fletcher (1868), yang kutipan sebagian dari keputusan hakim pengadilan sebagai berikut:
“seseorang untuk keperluannya sendiri telah membawa atau mengumpulkan dan menyimpan di tanahnya/ di pekarangannya sesuatu yang kemungkinan besar akan menimbulkan malapetaka apabila sesuatu tersebut lepas (escape) atau keluar dari tempatnya, dia harus menjaganya atas dasarnya resikonya sendiri, dan apabila
tidak dilakukannya maka ini dikatakan sebagai prima facie, yaitu sudah terjawab sendiri bahwa semua kerusakan yang terjadi adalah sebagai akibat dari konsekuensi alamiah (natural consequency) dari lepas/keluarnya sesuatu tersebut”
Merupakan aturan yang berlaku umum bahwa motivasi bukan hal yang penting dalam memutuskan apakah seseorang bertanggung jawab atau tidak dalam tort. Seseorang dalam situasi tertentu dapat saja bertindak secara sengaja (intentionally), tetapi ini bukan merupakan hal yang menjadikan tindakannya sebagai melanggar
hukum.Sebaliknya, jika seseorang tanpa bersahabat (dengan niat jahat) melakukan sesuatu yang mengakibatkan kerugian kepada pihak lain, walaupun demikian dia tetap tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab apabila sesuatu yang dilakukannya tersebut tetap tidak melanggar hukum.
Contoh :
Dalam kasus Bradford Corporation vs. Pickles (1895)
*-.Tergugat berniat akan menjual tanahnya kepada Perusahaan dengan harga yang sangat berlebihan tinggi.
*-.Perusahaan menolak untuk membeli tanah tersebut
*-.Tergugat membuat galian di tanahnya
*-.Galian tersebut menyerap dan menampung air
*-.Luapan air dari lubang galian tersebut mengalir ke tangki penampungan air di Perusahaan.
Dalam kasus ini diputuskan oleh pengadilan bahwa:
*-tindakan tergugat tidak melanggar hukum
*-seseorang mempunyai hak untuk membuat galian di tanahnya sendiri
*-.kenyataannya bahwa tindakannya di luar dari perbuatan jahat dan tidak membuatnya melanggar hukum
Kasus-kasus yang dikecualikan dalam hal seperti itu, di mana motivasi jahat tetap menjadi elemen penting dalam tort adalah sebagai berikut:
1.Jahat dalam pengertian Torts adalah malicious prosecution dan malicious falsehood, sebagai contoh : dalam malicious prosecution (menghadapkan seseorang ke pengadilan secara jahat), dalam hal si penderita (DEFENDANT) harus dapat membuktikan bahwa PLAINTIFF (yang menghadapkannya ke pengadilan) tidak mempunyai alasan yang cukup untuk dapat membawa DEFENDANT ke pengadilan.
2.Dalam Tort of Defamation (pencemaran nama baik), pernyataan dan dokumen-dokumen tertentu dilindungi oleh pembelaan dari hak-hak tertentu defences of qualified privilige atau pendapat yang adil (fair comment), tetapi pembelaan ini akan musnah jika di dalamnya ada unsur jahat
Contohnya:
Suatu referensi dibuat oleh majikan terdahulu kepada seorang karyawan adalah merupakan hak yang umum dimiliki oleh seorang karyawan. Karyawan dapat menuntut seandainya dia dapat menunjukkan bahwa pernyataan dari majikan tersebut dibuat dengan niat jahat untuk menjerumuskannya.
3.Dalam Tort of Nuisance, beberapa perlakuan/tindakan yang secara normal tidak melanggar hukum akan dianggap melanggar hukum dan dapat dituntut ke pengadilan jika di dalamnya ada unsur jahat.
Contohnya:Umumnya orang boleh dan tidak melanggar hukum apabila menembak di tanah/di halamannya sendiri, tetapi dalam kasus Hollywood Silver Fox Farm Ltd vs. Emmett (1936),
*-.Terjadi perdebatan antara tergugat dan penggugat
*-.Tergugat dengan sengaja menyiapkan senjata dan menembakkannya di tanahnya (halaman) sendiri yang bersebelahan dengan tanah (halaman) penggugat.
*-.Di halaman penggugat sedang ada anjing peliharaan yang sedang masa berkembang biak
*-.Tergugat sewaktu menembakkan senjatanya dilandasi niat jahat agar anjing piaraan penggugat terhalang dari berkembang biak.
Dalam kasus ini telah diputuskan bahwa tergugat (Emmet) bertanggung jawab atas dasar nuisance.
C.General Defences dalam Torts
Ada beberapa macam cara pembelaan dalam Torts, yaitu:
1.Contributory Negligence
Secara tegas, contributory negligence pada saat sekarang bukan lagi merupakan suatu defence tetapi akan lebih melengkapi kalau ini ditempatkan di bawah judul defence, karena contributory negeligence ini sangat luas ditemukan dan aplikasinya sangat terkait dengan Tort tertentu.
Pada Common Law, contributory negligence sampai dengan tahun 1945 merupakan suatu alat pembelaan yang penuh (complete defence); jika seorang tergugat (defendant) dapat menunjukkan bahwa penggugat (plaintiff) memiliki sekecil apapun, tanggung jawab terhadap kerugian atau kerusakan yang dia derita, maka
tergugat (defendant) ini tidak dibebani tanggung jawab.
Hal semacam ini sering terjadi dan masih akan terjadi, dalam kaitan dengan kecelakaan di jalan raya; luka badan atau kerusakan umumnya, sebagian adalah akibat dari kesalahan defendant dan sebagian adalah akibat dari kesalahan plaintiff.
Dalam tahun 1945 Parlemen Inggris telah memutuskan bahwa defence of contributory negligence adalah sangat tidak adil, khususnya apabila kontribusi kesalahan dari plantiff sangat kecil. Sehingga The Law Reform (Contributory Negligence) Act 1945 menyajikan aturan sebagai berikut:
“Apabila orang menderita kerugian/kerusakan yang sebagian disebabkan oleh kesalahannya sendiri dan sebagian disebabkan oleh orang/pihak lain, tuntutan terhadap kerusakan tersebut tidak dapat dikalahkan oleh suatu alasan adanya kesalahan dari pihak yang menderita kerusakan/kerugian, tetapi jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan harus berkurang sesuai dengan proporsi kontribusi kesalahannya sebagaimana pengadilan menganggap itu sudah cukup adil…”.
Kasus yang sangat tepat sebagai contoh untuk contributory negligence adalah kasus Baker vs Willoughby (1969).Seorang pejalan kaki memiliki jarak pandang paling sedikit 200 yards di jalan, dan sama halnya dengan seorang sopir, dia harus memperhatikan banyak peringatan mengenai pejalan kaki yang sering berusaha untuk menyeberang jalan. Walau sudah ada ketentuan tersebut, tetap terjadi kecelakaan ketika seorang pejalan kaki berusaha menyeberang di jlan ditabrak oleh sebuah mobil. Pejalan kaki menuntut melalui pengadilan terhadap pengendara mobil, dan The Court of Appeal (pengadilan banding) telah memutuskan bahwa sopir dan pejalan kaki secara merata sama-sama bersalah dan penggantian terhadap pejalan kaki berkurang setengah dari yang seharusnya dia terima seandainya dia tidak ada unsur kesalahan sama sekali.
Jumlah penggantian berkurang sebagai akibat dari adanya contributory negligence, pengadilan perlu meneliti terlebih dahulu nilai penggantian penuh, dan kemudian memperhitungkan persentase yang akan dijadikan dasar pengurangan sebagai akibat adanya contributory negligence. Satu alasan yang kuat atas adanya perhitungan demikian adalah karena adanya kemungkinan bahwa dalam banding diperoleh suatu persentase yang terlampau tinggi atau terlampau kecil.
Sebagai contoh dalam kasus Baker vs Willoughby (supra), Pengadilan pada tingkat pertama telah memutuskan bahwa pengendara mobil 75% dipersalahkan, kemudian pada akhirnya turun menjadi 50% pada tingkat banding.
Namun ada suatu hal yang benar bahwa tidak ada suatu cara yang dapat dipakai oleh pihak pengadilan untuk dapat dipergunakan agar dapat menetapkan tingkat kesalahan dalam bentuk persentase, dan ini sangat tidak mungkin untuk dapat dibuktikan misalnya seseorang dipersalahkan sebesar 25% ketimbang 20% atau 30%.
Yang dapat dikatakan adalah bahwa hukum yang berlaku sekarang berjalan dengan baik dalam prakteknya dan secara umum dapat diterima oleh semua pihak dan terdapat banyak kemajuan dari posisi Common Law sebelum tahun 1945.
Terlepas dari kasus-kasusu yang jelas dalam Contributory Negligence, telah diputuskan oleh pengadilan bahwa seseorang akan ikut disalahkan apabila dia menerima tawaran dari sopir untuk ikut naik kendaraannya yang dia tahu bahwa sopir tersebut dalam kondisi mabuk, seperti yang diputuskan dalam kasus Owens vs. Brimmel (1976), dikatakan bahwa terdapat contributory negligence, tidak hanya karena penumpang mengetahui bahwa sopir dalam keadaan mabuk, tetapi juga penumpangnya sendiri ikut minum minuman keras dengan sopir dan dia menyadari bahwa minuman akan mengurangi kemampuan seseorang untuk mengetahui dan menghindari adanya bahaya.
Kasus-kasus hukum tersebut telah melahirkan adanya 2 (dua) jenis contributory negligence, yaitu:
Pertama, Plantiff ikut dipersalahkan sebagian atas suatu kejadian kecelakaan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya di atas.
Kedua, Plantiff tidak ikut dipersalahkan dalam suatu kecelakaan, tetapi kalau lukanya (injury) menjadi lebih parah dibandingkan seandainya dia telah melakukan langkah-langkah pengamanan untuk dirinya sendiri. Sehingga dalam hal ini seorang pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm atau pengendara dan penumpang mobil yang tidak menggunakan seat belt, ganti rugi yang seharusnya dia terima akan berkurang jika sebagai akibat dari tidak menggunakan helm/seat belt tersebut lukanya menjadi lebih parah dan sebaliknya.
Terkait dengan masalah seat belt tersebut hukum (di Inggris) telah dikembangkan dengan beberapa pelengkap keakuratan perhitungan:
*-Jika lalai menggunakan seat belt yang tidak akan membuat perbedaan terhadap akibat kecelakaan, maka penggantian tidak akan dikurangi.
*-Jika tidak akan ada luka badan sama sekali seandainya menggunakan seat belt, penggantian akan dikurangi sebesar 25%.
*-Jika luka badan akan berkurang seandainya menggunakan seat belt, penggantian secara umum akan berkurang sebesar 15%, kecuali jika terdapat alasan khusus yang menjelaskan tidak digunakannya seat belt tersebut, misalnya terhadap seorang wanita yang sedang hamil
Dalam kasus Pasternak vs. Poulton (1973), plantiff yang duduk di depan di dalam mobil yang dia tidak tahu bahwa mobil dilengkapi dengan seat belt, telah diputuskan bahwa karena defendant tidak melakukan langkah-langkah agar penumpang (plantiff) mempergunakan seat belt, maka penggantian hanya dikurangi sebesar 5%. (Sebagaimana telah menjadi ketentuan bahwa memakai/menggunakan seat belt pada tempat duduk di depan (front seat) dalam mengendarai mobil adalah wajib, maka ini tidak akan mungkin plantiff dapat punya alasan bahwa dia tidak tahu bahwa seat belt telah tersedia di dalam mobil).
2.Self Defence
Seseorang berhak untuk membela dirinya sendiri atau anggota keluarganya, dan dia juga boleh mengambil langkah/tindakan yang perlu untuk melindungi tanahnya dan harta benda pribadinya. Dalam setiap situasi, segala tindakan bela diri yang dilakukan harus cukup beralasan dan terkait dengan gangguan yang dapat merugikan dirinya di mana sebaliknya apabila dia tidak melakukan bela diri maka dia akan menderita kerugian.
Sebagai contoh : seseorang berhak untuk melarang dan menghalangi anak-anak untuk memasuki suatu kebun pribadinya, untuk menghindari terjadinya tort of trespass – mencuri apel yang yang ada di kebunnya dan tort of conversion dengan membangun tembok yang tinggi yang sangat membahayakan bila dipanjat, tetapi dia tidak berhak untuk memasang jebakan yang berbahaya yang dipasang tersembunyi agar mencegah anak-anak masuk.
3.Volenti non fit injuria
Seseorang yang telah mengetahui terhadap adanya resiko dan dia menyetujui untuk menjalaninya (consents to run the risk), dia tidak mempunyai hak untuk menuntut apabila terjadi kecelakaan.
Misal :
Pemain bola yang ikut bermain di suatu pertandingan, di sini diartikan bahwa secara implied dia sudah mengetahui tentang resiko bermain bola, dan menyetujui untuk menghadapi resiko yang ada, maka apabila kakinya patah karena pemain lawan maka dia tidak dapat menuntut siapapun.
*-Pemain golf yang berada/bermain di lapangan golf
*-Pemain cricket yang berada/bermain di lapangan cricket.
Ada beberapa batasan dalam pembelaan (defence) ini, misalnya seseorang mengetahui tentang adanya resiko (consent the risk), tetapi dia tidak menjalani resiko tersebut (not run the risk), ada 3 (tiga) contoh sbb:
Pertama,
Seorang karyawan mungkin menyadari akan adanya resiko tetapi dia tidak dapat menghindari agar tidak menjalani resiko tersebut, karena apabila dia hindari resiko tersebut maka dia akan kehilangan pekerjaaan.
Smith vs. Baker (1891)
*-Plantiff dipekerjakan untuk membuat lubang dengan bor di gunung batu (karang)
*-Sepengetahuan dari majikannya (employer), ada beberapa karyawan lain yang sedang bekerja dengan crane, yang maneuver dari crranes tersebut melewati di atas
kepala plantiff, yang atas hal ini plantiff telah melakukan protes (complain) kepada majikannya.
*-Plantiff terluka ketika batu jatuh dari crane dan menimpanya
*-Dalam kasus ini telah diputuskan bahwa tuntutan plantiff dimenangkan (tidak ada defence dalam kaitan dengan volenti non vit injuria).
Namun dalam hal ini akan terjadi sebaliknya jika dalam mempekerjakan tersebut secara alamiah telah jelas tentang resiko yang dihadapi dan karyawan yang terlibat sudah setuju untuk menghadapi resiko yang ada sesuai dengan jumlah bayaran yang diterimanya, misalnya seorang penunggang kuda (jockey) di arena pacuan kuda, dia tidak dapat menuntut majikannya apabila dia jatuh dari kuda karena jatuh dari kuda merupakan bagian dari tugas/kewajibannya.
Kedua
Seseorang tidak dapat dikatakan bersedia untuk menjalani resiko (willing to take the risk), jika undang-undang telah memaksa/mengharuskan dia sebagai beban untuk menjalani resiko (run the risk).
Haynes vs. Harwood (1935)
*-Seekor kuda dan keretanya ditinggal oleh pemiliknya di jalan yang ramai
*-Kuda tersebut lari dengan kencang dan seorang polisi terluka dalam usahanya untuk menjinakkan dan menahan kuda tersebut.
*-Telah diputuskan bahwa dia (polisi) tersebut berhak untuk menuntut pemilik kuda untuk memperoleh ganti rugi, di mana dalam kasus ini polisi tersebut mempunyai kewajiban secara hukum untuk melindungi masyarakat.
Berbeda dengan kasus Cutler vs. United Daries Ltd (1933)
*-Plantiff berusaha menghentikan kuda yang sedang berlari di suatu jalan yang sepi di suatu desa
*-Plantiff terluka dan menuntut penggantian kepemilik kuda.
*-Defendant berhasil melakukan pembelaan dengan menggunakan volenti non vit injuria, karena bahaya yang ditimbulkan oleh kuda tersebut sangat kecil baik terhadap jiwa manusia dan harta benda yang ada di sekelilingnya.
Ketiga
Kewajiban atau tugas yang dibebankan kepada seseorang mungkin semata-mata sebagai kewajiban moral (moral obligation), bukan kewajiban secara hukum (legal obligation) seperti yang ada pada Haynes vs. Harwood (supra).
Chadwick vs. British Railways Board (1967)
*-Suatu kecelakaan kereta api yang disebabkan oleh kelalaian (negligence) dari defendant
*-Suami dari plantiff berjam-jam menghabiskan waktunya untuk membantu dalam operasi pertolongan (rescue operations)
*-Akibatnya plantiff mengalami gangguan kejiwaan (nervous shock)
*-Diputuskan oleh pengadilan bahwa plantiff berhak untuk menerima ganti rugi dari defendant, walaupun dalam hal ini suami plantiff tidak dalam statusberkewajiban secara hukum dalam melaksanakan operasi pertolongan tsb.
*-Defence of volenti non vit injuria ini tidak akan ada jika dituduhkan bahwa telah terjadi pelanggaran kewajiban secara hukum (breach of statutory duty).
Hal ini terutama berlaku dalam kasus di mana karyawan menuntut majikan (employees against employer), dan dalam praktek, defence semacam ini jarang muncul dalam kasus karyawan dan majikan.
Defence volenti non vit injuria muncul bukan hanya jika plantiff setuju untuk menjalani resiko (consents to run the risk), tetapi juga jika dia setuju bahwa orang lain yang bekerja melakukan sesuatu untuk dan atas dirinya sendiri, yang sebaliknya apabila tidak ada persetujuan akan menjadi tindakan tort bagi si pelaku tersebut.
Jadi seperti misalnya seseorang telah menyetujui seorang dokter bedah untuk melaksanakan operasi pada dirinya; maka tanpa adanya persetujuan dari dia, dokter tersebut dapat dituntut dalam kasus tort; kecuali operasi yang sifatnya darurat (emergency).
4.Inevitable Accident
Defence di dalam inevitable accident ini adalah suatu accident yang terjadi tidak dapat dihindari walaupun telah dilakukan tindakan pencegahan yang dapatdilakukan oleh orang yang normal (reasonable man).
Contoh dalam kasus Stanley vs. Powell (1891)
*-Defendant (tergugat) adalah anggota club menembak, yang sedang melakukan acara menembak,
*-Defendant dalam kegiatan di club tersebut, menembak seekor burung,
*-Tembakannya meleset dan mengenai batang pohon,
*-Peluru nyasar mengenai plantiff (penggugat),
Telah diputuskan bahwa defendant telah melakukan tindakan pencegahan yang memadai, sehingga tuntutan plantiff untuk minta ganti rugi tidak dipenuhi oleh pengadilan.
Dalam kasus seperti ini, dapat dikemukakan bahwa tidak ada defence yang secara khusus atas “inevitable accident” yang langsung bisa menjadi defence secara langsung, tetapi defence dalam hal ini semata-mata dengan cara mengemukakan evidence (bukti-bukti) yang kuat bahwa tidak ada unsur negligence pada defendant dalam kejadian tersebut.
5.Act of God
Defence dalam bentuk Act of God dalam beberapa aspek sama seperti inevitable accident. Sebagaimana didefinisikan dalam kasus “Greenock Corporation vs.Caledonian Railway Co. (1917) di mana situasi yang terjadi di luar jangkauan kemampuan manusia untuk dapat menduga, dan seorang yang ahli pun tidak dapat
mengetahui kemungkinan atas situasi termaksud.
Nichols vs Marsland (1876)
*-Defendant memiliki beberapa danau buatan di areal tanah yang dia miliki,
*-Suatu ketika terjadi hujan yang sangat lebat (yang jauh lebih lebat dan lebih deras dari biasanya yang pernah diingat dan dialami oleh para saksi mata)’
*-Air hujan yang tertampung menjebol danau buatan dan meluap secara deras ke areal sekitarnya dan meruntuhkan 4 (empat) buah jembatan milik pemerintah daerah setempat (plantiff).
*-Tuntutan dilakukan oleh pemerintah daerah’
Diputuskan bahwa tuntutan tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan (court) dengan alasan bahwa defendant tidak dapat mengetahui hal-hal untuk melakukan pencegahan terjadinya resiko termaksud yang secara beralasan dia tidak dapat melakukan antisipasi
Perbedaan yang esensial antara Inevitable Accident dengan Act of God adalahInevitable accident melibatkan unsur manusia Act of God tidak melibatkan unsur manusia, tetapi semata-mata faktor alam yang terlibat.
Defence dengan “Act of God” sekarang ini sudah jarang dilakukan, dan sangat kecil kemungkinannya untuk berhasil menjadi defence, karena ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai bahaya-bahaya alam telah banyak dan lengkap dibandingkan dengan sebelumnya seperti situasi dalam kasus yang telah diputuskan oleh
pengadilan pada Nichols vs. Marsland.
6.Necessity
Necessity adalah suatu defence di mana defendant terpaksa melakukan sesuatu sebagai suatu keperluan/kebutuhan untuk melindungi orang atau harta benda dari bahaya yang sangat dekat.Dalam defence demikian dia harus dapat memperlihatkan bahwa dalam situasi tersebut langkah-langkah yang diambil cukup beralasan.
Cope vs. Sharp (1912)
*-Defendant seorang gamekeeper (pengelola lapangan pertandingan).
*-Defendant dengan sengaja membakar lapangan rumput yang berada di pekarangan majikannya dengan maksud membuat fire break, agar kebakaran (yang telah terjadi di sebelah pekarangan majikannya) tidak menjalar ke pekarangan majikannya.Walaupun dalam kenyataannya kebakaran telah berhenti sebelum mencapai fire break yang dibuatnya tersebut, namun pengadilan telah memutuskan bahwa defendant
telah melakukan tindakan yang beralasan (reasonable) untuk mencegah kebakaran lebih besar.
Leigh vs. Gladstone
Petugas penjara telah melakukan pembelaan (defence) atas tindakan bela dirinya terhadap perlakuan tahanan yang menyerangnya pada saat secara paksa diberi makan pada situasi terjadi mogok makan.Namun demikian kasus ini terdapat keragu-raguan, karena kesulitan untuk menentukan atau melihat sejauh mana kewajiban
seorang petugas penjara untuk:
*-menentang keinginan dari tahanan tersebut dan
*-mempertahankannya agar tahanan tetap hidup
7.Staturory Authority
Statutory Authority adalah suatu defence yang diajukan oleh defendant dalam pembelaannya pada suatu kasus, di mana tanpa adanya statutory authority tersebut maka kasusnya tersebut adalah merupakan kasus tindakan tort.
Sebagai contoh:
Suatu bunyi atau getaran yang berlebihan, yang ditimbulkan secara berkelanjutan (continual) dan menyebabkan terganggunya kenyamanan pihak lain yang berada atau menempati bangunan/lokasi di sebelahnya dinyatakan sebagai Tort of Nuisance.
Namun dalam dunia modern akan ditemukan beroperasinya kereta api, lapangan terbang yang kemungkinan sekali dalam common law akan selalu menimbulkan nuisance bagi operator atau pengelolanya. Maka berdasarkan suatu Statutory Act (statutes) yang berlaku, operator dari service tersebut (perusahaan kereta api, pengelola airport) terbebas dari tort of nuisance tersebut. Namun kalau tidak ada statutes tersebut maka tetap pengelola semacam di mata common law merupakan tindakan tort of nuisance.
Kekebalan hukum dari tort of nuisance demikian akan tetap dapat dipertahankan sepanjang operasi dari operator tersebut berada dalam batas-batas yang telah ditentukan dalam statutory act tersebut. Kalau sudah melebihi batas-batas tersebut, maka tetap dianggap sebagai tindakan tort of nuisance, misalnya; operator
airport dalam operasinya ditetapkan batas ketinggian dan kecepatan pesawat yang diizinkan untuk terbang di sekitar airport. Maka apabila dalam prakteknya melebihi ketentuan yang telah ditetapkan dalam statutory act tersebut, dalam common law, pengelola airport dapat dituntut sebagai melakukan tindakan tort of nuisance.
Dalam situasi tertentu Statutory Authority merupakan yang mutlak defence (Absolute defence) yang penuh, walaupun sebetulnya ada alternatif lain yang dapat dan harus dilakukan oleh defendant, di mana tingkat gangguannya kepada pihak lain jauh lebih kecil.
Dalam kasus-kasus lain Statutory Authority ini bersifat tergantung (Conditional defence) kepada hal lain. Ketergantungan (conditional) diterapkan kepada orang-orang yang menyangkut masalah kehidupan pribadinya, sehingga dalam hal ini statutory authority bukan merupakan defence.
Untuk menentukan apakah suatu Statutory Authority adalah Absolute defence atau Conditional Defence akan tergantung pada wording dari Statutory Act yang bersangkutan.
Marriage vs. East Norfolk Rivers Catchment (1950)
Dengan berlandaskan kekuasaan (wewenang) yang diatur dalam The Land Drainage Act 1930, maka Board yaitu badan yang mengelola drainase telah mengeruk tanah/lumpur dari dasar sungai dan memindahkannya serta menimbunnya di sungai bagian lihir yang menyebabkan kenaikan dasar sungai. Kemudian suatu saat
terjadi air di sungai penuh meluap, sehingga air sungai bukannya mengalir seperti biasanya ke hilir dari sungai tetapi mengalir ke areal lain yang menyebabkan ambruknya sebuah jembatan dan menggenangi bangunan usaha penggilingan plantiff.
Act atau UU mengatur bahwa dalam hal luka badan atau kerusakan harta benda yang disebabkan oleh tindakan Board terhadap wewenang yang dimilikinya, maka Board harus memberikan ganti rugi secara penuh, dan jika terdapat perbedaan pendapat (dispute), masalah tersebur harus diselesaikan melalui arbitrase.
Plantiff menuntut Board atas dasar nuisance, tetapi dalam kasus ini telah diputuskan bahwa plantiff dalam hal ini tidak mempunyai hak untuk menuntut, tetapi dia hanya dapat memperoleh ganti rugi sesuai yang telah diatur oleh UU (Act) tersebut.
8.Mistake
Sebagaimana terdapat di setiap cabang dari hukum (hukum Inggris) maka mistake (kesalahan) bukan merupakan defence dalam tindakan tort. Demikian juga secara umum dapat dikatakan bahwa mistake (kesalahan) itu dalam kenyataannya bukan merupakan defence, tetapi ada beberapa pengecualian, seperti
contoh sbb:
Dalam defamation (merendahkan martabat seseorang), dengan berlakunya UU yang mengatur bahwa defamation tersebut dalam The Defamation Act 1952 diatur bahwa “jika defendant tidak bermaksud menyebarkan kata-kata yang menyangkut pribadi plantiff dan defendant tidak mengetahui situasinya, maka dengan dasar tersebut yang dapat dimengerti memang ternyata terkait dengan plantiff, defendant dibolehkan (diberi kesempatan) untuk menawarkan untuk mengumumkan koreksi yang memadai/setimpal atau permohonan maaf”.
Jadi yang dimaksud defence di sini adalah tawaran (offer) yang disampaikan.
Pengecualian yang lain adalah “jika seorang petugas polisi tanpa ada peringatan sebelumnya telah menahan seseorang yang ternyata orang tersebut tidak melakukan tindakan kriminal, maka polisi tersebut tidak dapat dituntut sebagai false imprisonment sepanjang dia bisa tunjukkan bahwa dia bertindak dengan cukup alasan dan dengan niat baik (in good faith)”
Sama juga halnya “dapat dijadikan suatu defence dalam kasus tuduhan secara jahat (malicious prosecution) bagi defendant di mana dia dapat menunjukkan bahwa tuduhan yang dia lontarkan secara keliru, dimulai atas dasar niat baik (good faith) dan didasari keyakinan (kepercayaan) bahwa plaintiff bersalah.
9.Illegality
Illegality adalah suatu defence di mana plantiff telah melakukan tindakan yang illegal pada saat tuduhan tort dimaksud terjadi.
Ashton vs. Turner (1980)
*-Tiga orang telah melakukan pencurian dengan pembongkaran dan mencoba melarikan diri dengan menggunakan kendaraan (mobil) yang dimiliki oleh salah seorang dari mereka.
*-Dalam pelarian tersebut terjadi kecelakaan dan mengakibatkan salah seorang menderita luka
*-Di pengadilan telah diputuskan bahwa pengemudi atau pemilik kendaraan tidak dapat dituntut atas dasar negligence, karena sesuai dengan public policy, hukum tidak mengenal duty of care di antara para pelaku kriminal terhadap sesama pelaku kriminal lainnya.dinyatakan dalam pengadilan tersebut bahwa pengemudi atas dasar sepengetahuan dari penumpangnya, dia dalam keadaaan mabuk berat, dan defence dalam bentuk volenti non vit injuria berlaku dalam kasus ini..
10.Limitation
Limitation dapat menjadi defence jika defendant dapat membuktikan bahwa plantiff (penggugat) telah melewati batas waktu yang ditetapkan berdasarkan hukum (Limitation Act 1980).
Periode limitation tergantung pada apakah kerusakan yang terjadi pada potential plantiff meliputi kerusakan pada property, atau luka badan atau kematian. Jika terjadi baik luka badan maupun kerusakan, tuntutan harus dilakukan berdasarkan periode limitation untuk luka badan, yang biasanya lebih singkat.
Periode limitation untuk masing-masing tuntutan :
*- Gugatan berdasarkan simple contract : 6 tahun sejak tanggal terjadinya cause of action
*- Wanprestasi yang menimbulkan personal injuries : 3 tahun
*- Gugatan berdasarkan speciality contract : 12 tahun sejak tanggal cause of action terjadi
*- Periode limitation mulai berlangsung sejak tanggal terjadinya cause of action, atau date of knowledge dari orang yang terluka. Istilah “date of knowledge” mengacu pada tanggal di mana dia pertama kali mempunyai pengetahuan tentang fakta-fakta berikut:
a.bahwa injury yang dipermasalahkan signifikan; dan
b.injury tersebut seluruhnya maupun sebagian diakibatkan oleh tindakan atau tidak dilakukannya tindakan yang menyebabkan negligence, nuisance atau breach of duty; dan
c.identitaas dari defendant; dan
d.jika tindakan tersebut dilakukan oleh orang lain yang bukan defendant, identitas dari orang tersebut dan fakta tambahan yang mendukung dilakukannya tuntutan atas defendant;
e.dan pengetahuan bahwa semua tindakan atau omissions, menurut hukum, melibatkan atau tidak melibatkan negligence, nuisance atau breach of duty, tidak relevan.
Bila saat terjadinya hak tuntut, calon penggugat berada dalam keadaan tidak mampu, daluwarsa dimulai sejak ketidakmampuan berakhir atau ia meninggal dunia ,Bila saat daluwarsa dimulai baru timbul ketidakmampuan, daluwarsa tetap berjalan.Bila hak tuntut tentang personal injuries ada pada orang yang belum dewasa, daluwarsa dimulai sejak saat timbulnya cause of action, kecuali terbukti pada saat itu ia tidak dalam perwalian orang tuanya.
E.Parties to an action
Pada umumnya semua orang dapat menuntut atau dituntut dalam tort. Namun ada beberapa perkecualian, yaitu:
1.Diplomatic immunity
Orang yang mempunyai kekebalan diplomatik, seperti duta besar dan para staffnya, tidak dapat dituntut kecuali mereka secara suka rela siap diperiksa.
Dickinson vs. Del Solar (1930)
Penggugat terluka oleh mobil yang dikendarai oleh pelayan tergugat. Tergugat adalah anggota diplomatik Peru. Kepala Diplomatik Peru menginstruksikan tergugat untuk tidak menggunakan diplomatic immunity sehingga tuntutan penggugat dipenuhi. Diplomatic immunity berlangsung hanya selama orang yang bersangkutan menduduki jabatan yang memberikan dia immunity tersebut.
2.Unborn children
English Law tidak memberikan hak kepada anak yang belum lahir, tetapi begitu anak itu lahir, dia mempunyai hak dalam hal sesuatu terjadi atas dirinya sebelum kelahirannya. Berdasarkan Congenital Disabilities (Civil Liability) Act 1976, jika anak itu terlahir cacat, abnormal atau tidak sehat sebagai akibat dari orang tuanya tidak melaksanakan tugasnya selama dia en ventre sa mere (dalam rahim ibunya), dia mempunyai hak untuk menuntut yang timbul pada saat kelahirannya. Umumnya menurut hukum seorang anak tidak seharusnya menuntut ibunya, tapi jika luka itu disebabkan oleh kecelakaan motor, yang menjadi defendant bukan ibunya, tapi perusahaan asuransinya.
3.Minors
Tidak ada yang membatasi hak seorang minor untuk menuntut, kecuali bahwa dia harus melakukannya lewat “next friend” nya, dan bukan secara personal.
Prinsipnya, seorang minor juga bisa dituntut dalam tort seperti halnya orang dewasa, namun ada sejumlah ketentuan yang harus dibuat.
Pertama, menurut logika, seorang minor tidak mungkin dapat membayar ganti rugi yang dibebankan kepadanya, kecuali dijamin oleh asuransi, sehingga tidak ada gunanya menuntut minor. Plantiff tidak bisa meminta ganti rugi tersebut dari orang tua minor karena dia tidak bertanggung jawab atas tort yang dilakukannya.
Kedua, dalam tuntutan atas negligence, standard of care yang dituntut dari anak lebih kecil dibandingkan dari orang dewasa, sehingga tuntutan terhadap anak kecil kemungkinan akan berhasil.Walaupun orang tua tidak bertanggung jawab terhadap negligence dari anaknya, dia secara pribadi mungkin bertangung jawab terhadap tindakan tertentu yang melibatkan anaknya.
Bebee vs. Sales (1916)
Seorang ayah dinyatakan bersalah berkenaan dengan anaknya yang berumur 15 tahun melukai anak lain. Ia bersalah karena membiarkan anaknya masuk dalam situasi yang membahayakan yakni membiarkan anaknya memegang senjata.
Donalson vs Mc. Niven (1952)
Seorang ayah dibebaskan dari tuntutan karena anaknya menggunakan senapan angin, namun dia dibebaskan karena dia sudah menjaga dan melarang anaknya untuk tidak memakainya di luar.
4.Husband and wife
Seorang suami tidak bertanggung jawab atas tort yang dilakukan oleh istrinya, dan sebaliknya. Berdasarkan common law, seorang suami tidak dapat menuntut istrinya atas tort, dan seorang istri bisa menuntut suaminya hanya untuk proteksi terhadap propertynya sendiri.
5.Orang yang menderita mental disorder
Seseorang yang menderita mental disorder bisa dituntut atas tort, tapi proses pengadilan akan berjalan lambat karena sulit untuk melihat apakah defendant telah bertindak negligent.
Morris vs Marsden (1952)
Defendant menyerang plantiff sehingga plantiff menuntut ganti rugi atas penghinaan dan kekasaran tersebut. Defendant tidak mengetahui bahwa apa yang dia lakukan adalah salah, tapi dia tetap bertanggung jawab, karena walaupun menderita gangguan mental, dia mengetahui nature dan kualitas dari tindakannya.
F.Vicarious Liability
Vicarious liability berarti bahwa seseorang bisa bertanggung jawab atas tort yang dilakukan oleh orang lain. Ada 3 macam bentuk hubungan yang dapat menimbulkan vicarious liability:
1.principal dan agen; Jika seorang agen bertindak dalam scope authoritynya, semua tindakan tort yang dilakukan agen akan menjadi tanggung jawab principalnya.
2.Patnership; Semua patner dalam sebuah patnership bertanggung jawab atas tindakan salah seorang dari mereka, sehingga seorang patner bertanggung jawab atas tindakan tort dari salah seorang di antara mereka.
3.master dan servant; Master (majikan) bertanggung jawab atas tindakan tort yang dilakukan oleh servant (karyawan) dalam melakukan pekerjaannya (in the course of employment)
Dasar hukum dari Vicarious Liability dalam hukum Indonesia adalah pasal 1367 KUHPerdata ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.”
Vicarious Liability dapat timbul dalam hubungan-hubungan sebagai berikut:
1.Tanggung gugat orang tua/wali terhadap perbuatan anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka (KUHPer pasal 1367 ayat 2)
2.Tanggung gugat majikan terhadap kerugian yang ditimbulkan oelh perbuatan karyawan dalam rangka melaksanakan pekerjaan untuk mana ia dibayar (KUHPer pasal 1367 ayat 3)
3.Tanggung gugat guru-guru sekolah dan kepala sekolah, kepala tukang atas perbuatan murid-muridnya dan tukang-tukang selagi dalam pengawasannya.
Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orangtua-orangtua, wali-wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab itu
Prinsip umumnya adalah bahwa seorang majikan akan bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan karyawannya saat melakukan pekerjaannya (in the couse of employment). Yang perlu dipecahkan adalah:
*-pengertian “servant”
*-pengertian “master”
*-pengertian “course of employment”, kapan mulai dan berakhirnya
*-Tidak ada UU atau keputusan hukum yang mengindikasikan kapan hubungan master-servant timbul, tapi beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan:
1.apakah dia berwenang untuk memilih atau menunjuk orangnya/karyawannya
2.apakah ada wewenang untuk memecat
3.apakah karyawan berwenang mendelegasikan pekerjaannya
4.apakah majikan berhak atas pelayanan khusus
5.siapa pemilik tempat kerja
6.siapa yang menyediakan peralatan
7.bagaimana cara pengupahan
8.siapa yang membayar asuransinya
9.apakah dia berhak atas cuti/liburan
“Master” adalah orang yang mempekerjakan servant. Kesulitan timbul jika servant dipinjamkan dari seorang majikan kepada majikan lain.
Mersey docks and Harbour board vs Coggins and Griffith (1946)
Seorang operator crane dibayar oleh A, tetapi untuk pekerjaan tertentu dia bekerja untuk B. Selama mengoperasikan crane tersebut, operator telah melukai C.
Yang bertanggung jawab adalah A.
Contoh-contoh kasus dalam Vicarious Liability;
Limpus vs London General Omnibus Co (1862)
Seorang pengendara bis dilarang secara tegas untuk tidak berpacu dengan bis lain. Ia melakukan hal tersebut sehingga terjadi tabrakan. Diputuskan bahwa majikannya bertanggung jawab karena pengendara melaksanakan tugas resmi (mengendarai bis) walaupun dia mengemudikan secara tidak benar.
Beard vs London General Omnibus Co (1900)
Seorang kondektur bis, pada akhir perjalanannya mencoba untuk memutarkan bis yang akibatnya mencederai penggugat. Majikannya tidak bisa dituntut karena kondektur melakukan kesalahan bukan pada saat “in the course of employment”. Tugasnya adalah sebagai kondektur bukan sebagai pengendara.
Llyod vs Grace Smith and Co (1912)
Tergugat bergerak di bidang pengacara. Salah seorang stafnya melakukan tindakan pemalsuan dokumen. Ia bertindak illegal semata-mata demi keuntungan pribadinya, namun majikannya tetapi dituntut dan dinyatakan bersalah.
Warren vs Henlye’s Ltd (1948)
Seorang karyawan yang bekerja di pompa bensin, menyerang pembeli karena ribut masalah pembayaran bensin. Namun majikannya dibebaskan dari tuntutan dan kesalahan tetap ditimpakan kepada petugasnya langsung.
Morris vs CW. Martin and Sons Ltd (1965)
Penggugat mengirim “mink stole” ke laundry. Laundry tersebut mensubkontrakkan pekerjaan tersebut kepada tergugat, seorang spesialis laundry. Pakaian tersebut kemudian dicuri oleh pegawai tergugat. Tergugat dituntut dan dinyatakan bersalah.
Rose vs Plenty (1976)
Seorang penjual susu mempekerjakan seorang anak berumur 13 tahun untuk membantu menjual susu, yang sebenarnya tugas ini bertentangan dengan instruksi tuannya. Si anak terluka oleh perbuatan si penjual susu tadi, maka anak tersebut berhak mendapatkan ganti rugi dari majikan penjual susu tersebut.
Ellis vs Sheffield Gas Consumers Co (1853)
Tergugat mempekerjakan kontraktor untuk menggali saluran di jalan untuk pemasangan pipa gas. Yang sebenarnya dia tidak berhak melakukan itu. Karyawan kontraktor membuat tumpukan batu di jalan sehingga penggugat terjatuh. Tergugat dituntut dan dinyatakan bersalah.
Tarry vs Ashton (1876)
Tergugat mempekerjakan kontraktor untuk memperbaiki lampu. Pekerjaan dilakukan secara tidak benar, lampu jatuh dan mencederai penggugat. Tergugat dinyatakan bersalah.
H & N Emanuel Ltd vs Greater London Council (1971)
Tergugat mempekerjakan kontraktor untuk membersihkan daerah dan dalam kontraknya dia tidak diperbolehkan membakar semak. Ia melakukan hal tersebut sehingga menimbulkan kebakaran harta benda di dekatnya. Tergugat dinyatakan bersalah.
G.Joint torts
Bisa terjadi bahwa dua orang atau lebih bertanggung jawab secara hukum terhadap orang yang sama karena adanya injury yang sama. Contohnya dua orang pengemudi, sama-sama lalai sehingga mengakibatkan seorang pejalan kaki terluka. Penggugat bisa menuntut keduanya karena melakukan tindakan salah (negligent) bagi yang lain.
Plantiff bisa menuntut salah satu defendant untuk mendapatkan penggantian penuh dari klaimnya, tapi dalam prakteknya dia akan cenderung menuntut keduanya dan pengadilan selain memutuskan tanggung jawab defendant terhadap plantiff, tatapi juga proporsi ganti rugi di antara kedua (atau lebih) defendant tersebut.
Menurut Civil Liability (Contribution) Act 1978, setiap orang yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh yang lain bisa mendapat recover kontribusi dari orang lain yang juga ikut bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Proporsi kontribusi tersebut harus sesuai dengan tingkat tanggung jawab masing-masing orang terhadap kerugian yang dipermasalahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar