Kamis, 18 November 2010

CHAPTER 1. HUKUM PERJANJIAN

A.Hubungan antara Perikatan dan Perjanjian

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum, yang berarti hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya.

Jadi hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis.

B.Sistem Terbuka dan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian
Hukum benda mempunyai sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar Undang-Undang , ketertiban umum dan kesusilaan.

Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (Bhs. Inggris “optional law”), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang
dari pasal-pasal Hukum Perjanjian dan diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian itu tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka berarti mengenai soal tersebut akan tunduk kepada UU. Karena itu hukum perjanjian
disebut hukum pelengkap, karena fungsinya melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.



Sistem terbuka, yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPer lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian:“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.Penekanan pada perkataan semua menyatakan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu UU.

Dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok walaupun belum ada  perjanjian tertulisnya sebagai sesuatu formalitas.

Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari pasal 1320 KUHPer, yang berbunyi:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
     1.Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
     2.Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
     3.Suatu hal tertentu;
     4.Suatu sebab yang halal”
Karena suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan,maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat
tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan.

Pengecualian terhadap asas konsensualisme yaitu penetapan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya: Perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta
notaris. Perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis, dan lain sebagainya. Perjanjian yang memerlukan formalitas tertentu dinamakan perjanjian formil

C.Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Menurut pasal 1320 KHUPer, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
   1.Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
   2.cakap untuk membuat suatu pejanjian;
   3.mengenai suatu hal tertentu;
   4.sesuatu sebab yang halal;
Dua syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya penjual mengingini sejumlah uang, sedang pembeli mengingini sesuatu barang dari si penjual.

Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 KUHPer, disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1.Orang-orang yang belum dewasa;
2.Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3.Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh UU dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian tertentu

Dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh bebas berbuah dengan harta kekayaannya.

Menurut KUHPer, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 KUHPer). Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa yang harus diwakili oleh orang/wali, adalah dengan diwakili, seorang anak tidak membikin
perjanjian itu sendiri tetapi yang tampil ke depan wakilnya. Tetapi seorang istri harus dibantu, berarti ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis.

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.

Syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah adanya suatu sebab yang halal. Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri, tidak boleh mengenai sesuatu yang terlarang. Misalnya, dalam perjanjian jual beli dinyatakan bahwa si penjual hanya bersedia menjual pisaunya, kalau si pembeli membunuh orang, maka isi perjanjian itu menjadi sesuatu yang terlarang. Berbeda halnya jika seseorang membeli pisau ditoko dengan maksud untuk membunuh orang dengan pisau tadi, jual beli pisau tersebut mempunyai suatu sebab atau causa yang halal, seperti jual beli barang-barang lain.

Apabila syarat objektif tidak dipenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada
dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.

Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.

Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat  selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak yang mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan
voidable. Ia selalu diancam dengan bahaya pembatalan (canceling).

Yang dapat meminta pembatalan dalam hal seorang anak belum dewasa adalah anak itu sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua/walinya. Dalam hal seorang yang berada di bawah pengampuan, pengampunya. Dalam hal seorang yang telah memberikan sepakat atau perizinannya secara tidak bebas, orang itu sendiri. Bahaya pembatalan itu berlaku selama 5 tahun menurut pasal 1454 KUHPer.

Bahaya pembatalan yang mengancam itu dapat dihilangkan dengan penguatan (affirmation) oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut. Penguatan yang demikian itu, dapat terjadi secara tegas, misalnya orang tua, wali atau pengampu itu menyatakan dengan tegas mengakui atau akan mentaati perjanjian yang telah diadakan oleh anak yang belum dewasa ataupun dapat terjadi secara diam-diam, misalnya orang tua, wali atau pengampu itu membayar atau memenuhi perjanjian yang telah diadakan oleh anak itu. Ataupun orang yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak bebas, dapat pula menguatkan perjanjian
yang dibuatnya, baik secara tegas maupun secara diam-diam.

D.Batal dan Pembatalan suatu Perjanjian
Dalam hal syarat objektif  tidak terpenuhi (hal tertentu atau causa yang halal), maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void), sedangkan apabila syarat subjektif terpdenuhi  (tidak cakap atau memberikan perizinannya secara tidak bebas), maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan (canceling).
Jadi ada perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan.

Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu, perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Hal yang demikian dapat segera diketahui oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, perjanjian yang demikian itu tidak
boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga dapat segera diketahui hakim sehingga dari sudut keamanan dan ketertiban,perjanjian seperti itu harus dicegah.

Tentang perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subjektifnya yang menyangkut kepentingan seseorang , yang mungkin tidak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya, misalnya seorang yang oleh UU dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul tanggung jawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau seseorang yang telah memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau malu meminta perlindungan hukum. Adanya kekurangan mengenai syarat subjektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.

Karena itu, dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat-syarat subjektif, UU menyerahkan kepada pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak, sehingga perjanjian yang demikian bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.

Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian, ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan.
   1.Yang dimaksud dengan paksaan, adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychics), jadi bukan  
      paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu pihak, karena  diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui
      suatu perjanjian.
   2.Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa  
      yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang  penting dari barang yang menjadi objek perjanjian,
     ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian  
     rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan  
     persetujuannya.

Contoh kekhilafan mengenai barang      
misalnya, seseorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit harus sedemikian rupa sehingga pihak lawan mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berada dalam kekhilafan.

   3.Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau
      tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk  membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya.

Pihak yang  menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Menurut  
yurisprudensinya, tak cukup kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.

Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh UU diberi perlindungan itu (pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakat). Meminta pembatalan itu oleh pasal 1454 KUHPer dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5 tahun, yang mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kekhilafanatau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.

Ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian:
    1.Pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu
       dibatalkan.
    2.Menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut, kemudian mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika  ia masih belum cakap, atau karena diancam, ditipu atau khilaf mengenai objek perjanjian. Di depan sidang pengadilan itu ia memohon kepada hakim supaya  perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya.

E.Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:
    1.perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan
      (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.
    2.perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian
      perburuhan.
    3.Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang
      sejenis dengan kepunyaan seorang lain.

Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam:
    1.tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
    2.melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
    3.melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
    4.melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas.

Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
    1.membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
    2.pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
    3.peralihan resiko;
    4.membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga.
    1.Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak.  Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu  perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka  yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
    2.Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan  oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah.
    3.Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.

Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan.

Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi.

Pasal 1247 KUHPer menentukan : “Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu

perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.

Pasal 1248 KUHPer menentukan : “Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga,

sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung

dari tak dipenuhinya perjanjian”.

Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang,

maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau bunga. Perkataan “moratoir” berasal dari kata

Latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai

membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat

gugatan.

Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut

sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus

dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.

Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat

batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan

atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.

Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu

tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara

penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”.

Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat

pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan

membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat

memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”.

Peralihan resiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban

untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

Peralihan resiko dapat digambarkan demikian:
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual

itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si

penjual, resiko itu beralih kepada dia.

Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa

pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan :
    1.pemenuhan perjanjian;
    2.pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
    3.ganti rugi saja;
    4.pembatalan perjanjian;
    5.pembatalan disertai ganti rugi.

F.Pembelaan Debitur yang Dituduh Lalai
Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa

macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu:
   a.Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur);
   b.Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus);
   c.Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak : bahasa Belanda ; rechtsverwerking).

Keadaan memaksa (overmacht atau force majeur). Dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan

itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di

luar dugaan tadi.

Pasal 1244 dan 1245 KUHPer mengatur pembebasan debitur dari kewajiban mengganti kerugian,karena suatu kejadian yang dinamakan keadaan memaksa. Dua pasal

tersebut merupakan doublure, yaitu dua pasal yang mengatur satu hal yang sama. Jadi keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja dan

tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa tidak menepati janjinya.

Ada keadaan tertentu di mana terjadi suatu peristiwa yang tak terduga di luar kesalahan pihak debitur, tetapi segala akibat peristiwa itu harus dipikulkan

kepadanya karena ia telah menyanggupinya atau karena penanggungan segala akibat itu termaktub dalam sifatnya perjanjian.

Exceptio non adimpleti contractus. Dengan pembelaan ini si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi itu mengajukan di depan hakim bahwa

kreditur sendiri juga tidak menetapi janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu asas bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan

kewajibannya. Prinsip ‘menyeberang bersama-sama’ dalam jual beli ditegaskan dalam pasal 1478 KUHPer : “Si pejual tidak diwajibkan memyerahkan barang-

barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaran tersebut.” Prinsip exceptio non adimpleti

contractus ini tidak disebutkan dalam pasal UU, melainkan merupakan hukum yurisprudensi, yaitu suatu peraturan hukum yang telah diciptakan oleh para hakim.

Pelepasan hak (“rechtsverwerking”). Merupakan suatu sikap pihak kreditur dari mana pihak debitur boleh menyimpulkan bahwa kreditur itu sudah tidak akan

menuntut ganti rugi. Misalnya, si pembeli, meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi kwalitas, tidak menegur si penjual atau mengembalikan barangnya,

tetapi barang itu dipakainya. Atau ia pesan lagi barang seperti itu. Dari sikap tersebut dapat disimpulkan bahwa barang itu sudah memuaskan si pembeli. Jika

ia kemudian menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian, maka tuntutan itu sudah selayaknya tidak diterima oleh hakim.

G.Cara-Cara Hapusnya Suatu Perikatan
Pasal 1381 KUHPer menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan, yaitu:
    1. pembayaran;
    2. penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
    3. pembaharuan utang;
    4. perjumpaan utang atau kompensasi;
    5. pencampuran utang;
    6. pembebasan utang;
    7. musnahnya barang yang terutang;
    8. batal/pembatalan;
    9. berlakunya suatu syarat batal dan
    10.lewatnya waktu.

Selain cara-cara di atas, ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, misalnya berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah

satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti  meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di

mana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.

Pembayaran.
Dengan “pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Yang wajib membayar suatu utang, bukan saja si berutang, tetapi juga seorang

kawan berutang dan seorang penanggung utang. Dalam pasal 1332 KUHPer diterangkan bahwa  suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang

tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga yang bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas

namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Agar pembayaran itu sah, perlu orang yang membayar itu pemilik dari barang yang dibayarkan

dan berkuasa memindahtangankannya.

Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim

atau oleh UU untuk menerima pembayaran-permbayaran bagi si berpiutang.

Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan
Merupakan cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Cara itu adalah sebagai berikut: Barang atau uang yang

akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan kepada kreditur atas nama debitur, pembayaran mana akan

dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan)  barang atau uang yang telah diperinci. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses perbal. Apabila

kreditur suka menerima baang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak, maka notaris/juru sita akan

mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses perbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya, hal itu akan dicatat oleh

notaris/jurusita di atas surat proses perbal tersebut. Dengan demikian ada bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran. Langkah berikutnya:

si berutang (debitur) di muka Pengadilan Negeri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah

dilakukan itu. Setelah itu, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian

utang piutang itu sudah hapus. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan Kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan (resiko) si berpiutang.

Si berpiutang sudah bebas dari utangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh

si berutang.

Pembaharuan utang atau novasi
Menurut pasal 1413 KUHPer, ada 3 macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu:
   1.Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan  

 karenanya. Disebut dengan novasi objektif karena yang diperbaharui adalah objeknya perjanjian.
   2.Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. Disebut novasi    

subjektif passif karena yang diganti adalah debiturnya;
   3.Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan  

 dari perikatannya. Disebut sebagai novasi subjektif aktif karena yang diganti adalah krediturnya.

Perjumpaan utang atau kompensasi
Merupakan cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua

orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.

Perjumpaan tersebut terjadi demi hukum.

Agar dua utang dapat diperjumpakan, perlulah dua utang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kedua utang itu

harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat dihabiskan, dari jenis dan kwalitet yang sama, misalnya beras kwalitet Cianjur.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa utang piutang antara kedua belah pihak itu telah lahir, terkecuali:
   1.Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya;
   2.Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
   3.Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
     Jadi ketentuan di atas merupakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang demikian.

Pencampuran utang
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadi demi hukum suatu pencampuran utang

dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau si debitur kawin

dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya utang piutang dalam hal pencampuran ini, adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.

Pencampuran utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya (“borg). Sebaliknya pencampuran yang

terjadi pada seorang penanggung utang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.

Pembebasan utang
Apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan

perjanjian, maka perikatan – yaitu hubungan utang piutan – hapus. Perikatan di sini hapus karena pembebasan. Pembebasan suatu utang tidak boleh

dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan, misalnya pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh si berpiutang kepada si berutang.
Pembebasan utang perlu diterima baik dahulu oleh debitur, barulah dapat dikatakan bahwa perikatan utang-piutang telah hapus karena pembebasan, sebab ada juga

kemungkinan seorang debitur tidak suka dibebaskan dari utangnya.

Perbedaan antara pembebasan utang dengan pemberian (“schenking”) adalah bahwa pembebasan utang tidak menerbitkan suatu perikatan, justru menghapuskan

perikatan, dan dengan suatu pembebasan tidak dapat dipindahkan suatu hak milik, sebaliknya suatu pemberian meletakkan suatu perikatan antara pihak penghibah

dan pihak yang menerima hibah dan perikatan itu bertujuan memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya.

Musnahnya barang yang terutang
Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu

masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Batal/pembatalan
Perjanjian-perjanjian yang kekurangan syarat objektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak

cakap itu atau oleh pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan atau karena khilaf atau ditipu.Meminta pembatalan

perjanjian yang kekurangan syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di

depan hakim. Kedua, secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan di situlah baru mengajukan kekurangannya

perjanjian itu.

Untuk penuntutan secara aktif diberi batas waktu 5 tahun, sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu itu.Penuntutan

pembatalan akan tidak diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada “penerimaan baik” dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu

kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.

Ada pula kekuasaan yang oleh “Ordonansi Woeker” diberikan kepada Hakim untuk membatalkan perjanjian, kalau ternyata antara kedua belah pihak telah diletakkan

kewajiban secara timbal balik, yang satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula, satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam

keadaan terpaksa.

Berlakunya syarat batal
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik

secara menangguhkan lahirnya perikatan sehingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa

tersebut.

Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua, suatu perikatan yang sudah dilahirkan

justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu

syarat batal.

Dalam Hukum Perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila

terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Dengan begitu, syarat

batal itu mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi. Namun berlaku surutnya

pembatalan itu hanyalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika itu mungkin dilaksanakan.

Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUHPer, yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan

dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitif”, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau

suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctif”.

Menurut pasal 1967, segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga

puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagipula tak dapatlah diajukan terhadapnya

sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.

Dengan lewatnya waktu tersebut di atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu “perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat

dituntut di depan hakim. Debitur jika ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan dapat mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang kedaluwarsanya piutang

dan dengan demikian mengelak atau menangkis setiap tuntutan.


ENGLISH LAW

CONTRACT -1

Kontrak adalah perjanjian yang mengikat secara hukum, yaitu suatu perjanjian di mana pihak-pihak yang terlibat mempunyai kewajiban legal, yang diakui secara

hukum. Anson mendefinisikan kontrak sebagai:
“An agreement enforceable at law made between two or more persons by which rights are acquired by one or more to acts or forebearances on the part of the

other or  others”

Suatu perjanjian tidak perlu mengandung ketentuan tertulis agar dapat berlaku secara hukum. Semua perjanjian dapat dijalankan secara hukum, kecuali:
1.pernyataan dalam perjanjian itu secara jelas mengingkari maksud untuk menciptakan perjanjian yang mengikat secara hukum. Contohnya adalah kasus Rose &

Frank Co. v. Crompton Bros (1925). Perjanjian antara kedua belah pihak itu mengandung pernyataan bahwa perjanjian tersebut tidak akan tunduk pada jurisdiksi

hukum di pengadilan. Karena itu perjanjian tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban hukum.
2.perjanjian itu merupakan salah satu dari jenis perjanjian  di mana tidak ada kewajiban legal yang mengikat di dalamnya. Perjanjian yang berhubungan dengan

hal-hal yang murni bersifat sosial atau domestik adalah contoh perjanjian di mana tidak ada kewajiban legal yang mengikat. Contohnya adalah kasus Balfour v.

Balfour (1919) di mana seorang suami yang meninggalkan negaranya berjanji untuk memberikan uang secara teratur untuk keperluan hidup istrinya. Ketika dia

tidak melakukannya, istrinya menuntut namun dinyatakan bahwa istrinya tidak mempunyai hak untuk menuntut karena perjanjian di antara mereka hanya merupakan

pengaturan yang bersifat domestik dan tidak dimaksudkan untuk mempunyai konsekuensi legal.
3. perjanjian itu merupakan salah satu perjanjian yang menurut hukum tidak mempunyai efek legal. Contohnya adalah perjanjian untuk menikah, menurut Law

Reform Act 1970 tidak menciptakan perjanjian yang mengikat secara hukum.

A.Privity of Contract
Karena perjanjian itu dibuat antara kedua belah pihak, maka merupakan aturan umum bahwa hanya pihak-pihak tersebut yang mempunyai hak dan kewajiban atas

kontrak tersebut, dan kontrak tersebut tidak dapat memberikan keuntungan atau menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga. Ketentuan ini mempunyai sejumlah

kualifikasi dan pengecualian:

Jika A menuntut B atas pelanggaran kontrak, pengadilan bisa memberikan ganti rugi kepada C, atau memerintahkan B untuk melaksanakan kontrak tersebut untuk

keuntungan C. Contoh kasusnya adalah Jackson v. Horizon Holidays (1975), di mana seorang pria yang membooking liburan untuk dia dan keluarganya, namun

fasilitas yang diberikan tidak sesuai dengan yang digambarkan dalam brosur. Dinyatakan bahwa dia berhak untuk mendapatkan ganti rugi, tidak hanya untuk

kerugian dan kekecewaannya sendiri, tetapi juga yang diderita oleh keluarganya.

Seorang principal, sekalipun tidak dikemukakan, dapat menuntut atas kontrak yang dibuat atas kepentingannya oleh agent
Jika seorang suami mengasuransikan hidupnya untuk benefit istrinya, atau sebaliknya, istri atau suami tersebut berhak atas keuntungan dari polis. Ini lebih

merupakan aspek dalam hukum trusts daripada hukum perjanjian.

B.Types of Contract
Sebuah kontrak bisa berbentuk:
- contract of record
- simple contract
- contract under seal atau yang dikenal dengan speciality of contract atau deed

Klasifikasi lain adalah executed dan executory contracts. Sebuah kontrak adalah executed jika satu atau kedua pihak telah melakukan semua yang diminta dalam

kontrak. Sebaliknya, jika  kewajiban dari salah satu atau kedua belah pihak masih harus dilaksanakan, kontrak tersebut dikatakan executory.

1.Contracts of record
Contracts of records meliputi hutang pengadilan dan recognizances dan recognizance adalah kewajiban yang diharuskan oleh pengadilan, misalnya perintah untuk

membayar biaya tuntutan.

2.Simple contracts
Simple contract adalah perjanjian, baik express maupun implied, yang menciptakan hak dan kewajiban hukum. Umumnya, simple contract tidak membutuhkan bentuk

tertentu, bisa dibuat dalam bentuk tulisan atau secara oral. atau keberadaannya bisa dilihat dari tindakan, misalnya jika seseorang naik bis, tindakannya itu

mengindikasikan baik keinginannya untuk dibawa ke tempat tujuaannya dan kesediaannya untuk membayar ongkos yang pantas.
Ada beberapa jenis kontrak yang harus dibuat secara tertulis (made in writing), misalnya:

     *-kontrak asuransi marine
     *-bills of exchange dan promisory notes
     *-kontrak untuk pembayaran kembali uang yang dipinjam dari orang yang meminjamkan uang atau bunga dari pinjaman
     *-acknowledgement of statute-barred debts
     *-transaksi kredit konsumer yang jumlahnya kurang dari 5000
     *-transfers of shares dalam perusahaan yang tercatat dalam Companies Acts

Kontrak tersebut jika tidak dalam bentuk in writing maka akan batal (void), artinya tidak mempunyai efek legal.
Ada juga kontrak yang harus dibuktikan secara tertulis (evidenced by writing):
     *-contracts of guarantee
     *-perjanjian penjualan atau penempatan tanah

Perbedaan antara contract of guarantee, yang harus dibuktikan secara tertulis, dengan indemnity (yang tidak memerlukan pembuktian secara tertulis) adalah :
A guarantee adalah janji untuk bertanggung jawab atas utang, kegagalan atau kesalahan mengantar oleh orang lain. Ada tiga pihak yang terlibat dalam

guarantee, yaitu kreditur, debitur dan guarantor. Guarantor akan mambayar kepada kreditur jika debitur tidak melakukannya.
Sebaliknya dalam kontrak indemnity hanya ada dua pihak, dan indemnifier akan mengatakan kepada kreditur “Biarkan dia mendapatkan barangnya, dan kamu akan

dibayar”.

Jadi kalau guarantor hanya merupakan orang kedua yang bertanggung jawab, yaitu hanya bertanggung jawab jika debitur tidak membayar, sedangkan indemnifier

adalah orang pertama yang bertanggung jawab.

3.Contracts under seal
Contract under seal, yang juga dikenal sebagai a speciality of contract atau deed, harus secara tertulis, ditandatangani oleh kedua belah pihak, diberi

meterai dan dikirim.
Penggunaan contract under seal adalah untuk tipe-tipe kontrak sebagai berikut:
 *-Gratuitous promises. Merupakan janji yang dibuat seseorang untuk memberikan atau melakukan sesuatu dan dia tidak akan mendapatkan    apa-apa sebagai

imbalannya. Biasanya, kedua belah pihak dalam kontrak mempunyai hak dan kewajiban.
 *-Conveyances of land atau leases of land untuk periode lebih dari 3 tahun
 *-Transfers of British ships atau shares dalam kapal tersebut

Perbedaan atara simple contract dan contract under seal adalah sebagai berikut:

*-Dengan pengecualian untuk contract in restraint of trade, speciality contract tidak memerlukan consideration, sedangkan simple contract selalu meminta

consideration.
*-Tuntutan dalam speciality contract harus dilakukan dalam waktu 12 tahun, sedangkan dalam simple contract harus dilakukan dalam waktu 6 tahun, kecuali bila

tuntutan tersebut meliputi personal injuries, maka periodenya, dengan pengecualian tertentu, hanya dibatasi selama 3 tahun.
*-Dalam speciality of contract, pernyataan yang dibuat ada;aj bukti konklusif atas kebenarannya, kecuali kecurangan, kesalahan, paksaan bisa dibuktikan.

Sedangkan, dalam simple contract, pernyataan hanya bukti presumptive atas kebenarannya, dan anggapan tersebut bisa dibantah jika ada bukti yang menunjukkan

sebaliknya.
*-Jika simple contract dimasukkan dalam deed, maka simple contract tidak ada lagi. Ketentuan ini tidak berlaku bila sebaliknya yang terjadi.
*-Stamp duty seharga sekurang-kurangnya 50p untuk deed, namun tidak diperlukan stamp duty untuk simple contract.

C.Offer and Acceptance
Sebelum sebuah kontrak yang valid timbul, harus ada tawaran yang tidak dapat ditarik kembali (unrevoked offer) oleh satu pihak, the offerer, dan penerimaan

tanpa syarat (unqualified acceptance) oleh pihak lain, the offeree.
Dua ketentuan penting sehubungan dengan offer dan acceptance adalah :

Pertama, tawaran tersebut tidak ada sampai dikomunikasikan kepada pihak lain. Dalam Taylor v. Laird (1856) kapten kapal telah berhenti dari pekerjaannya

dalam pelayaran, tapi dia bekerja membantu menjalankan kapal tersebut dalam perjalanan pulang. Dia meminta remuneration atas pekerjaannya itu kepada pemilik

kapal, tetapi dinyatakan bahwa dia tidak berhak karena tawaran atas pelayanannya itu tidak pernah dikomunikasikan kepada pemilik kapal, sehingga dia tidak

punya kesempatan untuk menerima atau menolak tawaran tersebut.

Kedua, conditions bisa dilekatkan pada tawaran, tapi agar dapat berlaku, harus dikomunikasikan terlebih dahulu kepada offeree. Dalam Henderson v. Stevenson

(1875), di depan tiket kapal api hanya ada tulisan ‘Dublin to Whitehaven’, sedangkan pada belakang tiket tersebut dicantumkan condition bahwa perusahaan

tidak akan bertanggung jawab atas kerugian, luka atau keterlambatan atas penumpang atau barangnya. Condition  tersebut tidak dapat diberlakukan karena

penumpang tidak mengetahui hal tersebut.

Acceptance harus bersifat unconditional. Jika, misalnya, proposer dari kelas asuransi tertentu telah mengisi proposal form berdasarkan rate standard yang

berlaku, dan penanggung telah menerima tawaran tersebut. Jika kemudian ternyata resiko tersebut lebih tinggi dari yang normal dan penanggung menginginkan

tambahan premi, proposer tidak terikat untuk menerima persyaratan tambahan tersebut. Karena itu, penanggung harus menolak tawaran yang dulu dan membuat

counter-offer di mana proposer bebas untuk menolak atau menerimanya.

Acceptance harus dikomunikasikan. Contoh kasusnya adalah Felthouse v. Bindley (1862) di mana penggugat menulis surat kepada keponakannya dan menawarkan untuk

membeli kudanya dan menambahkan “Jika saya tidak mendapat kabar lagi, maka saya menganggap bahwa kuda tersebut adalah milik saya dengan harga 30/15/Od”.

Setelah mendapat surat dari pamannya tersebut, keponakannya menyuruh orang untuk menunda menjual kuda tersebut, namun karena ada kesalahan, kuda tersebut

terjual. Tuntutan paman tersebut digugurkan karena tidak ada kontrak antara paman dan keponakannya tersebut, karena acceptance harus dikomunikasikan.

Acceptance, bisa dikomunikasikan melalui tindakan dalam keadaan yang tepat. Contoh kasusnya adalah Carlill v. Carbolic Smoke Ball Co. (1893) di mana tergugat

telah mengiklankan produknya bahwa jika seseorang menggunakannya menurut petunjuk yang ada dan terserang influenza, maka dia berhak menuntut 100. Nyonya

Carlill membeli produk tersebut dan menggunakannya sesuai petunjuk selama 58hari dan terserang influenza sehingga dia menuntut 100. Tergugat menolak klaim

tersebut dengan alasan bahwa Nyonya Carlill tidak mengkomunikasikan kepada mereka bahwa dia menerima tawaran mereka. Pengadilan memutuskan bahwa ada janji

yang dibuat sebagai imbalan jika melakukan tindakan tersebut dan dengan melakukan tindakan tersebut mengindikasikan adanya acceptance sehingga tuntutan

tersebut dikabulkan.

Sebuah offer tidak dapat diterima jika si penerima tidak mengetahui adanya tawaran tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang mengiklankan bahwa dia akan

memberikan hadiah jika seseorang dapat menemukan barangnya yang hilang, dan seseorang yang tidak menyadari tawaran tersebut menemukan barang tersebut dan

mengembalikannya kepada pemiliknya, maka dia tidak berhak atas hadiah tersebut. (Sebaliknya, jika seorang polisi menemukan barang dan mengembalikan barang

tersebut kepada pemiliknya, dia tidak berhak atas hadiah, walaupun dia tahu bahwa telah ditawarkan hadiah, karena mengembalikan barang yang hilang kepada

pemiliknya adalah tugasnya).

Pengecualian atas ketentuan bahwa acceptance harus dikomunikasikan adalah jika acceptance dilakukan melalui pos. Dalam kasus ini, acceptance telah lengkap

pada saat surat tersebut diposkan, walaupun tidak pernah sampai ke tujuannya, selama pada surat tersebut dicantumkan alamat yang tepat dan diposkan dengan

tepat. Ini tidak berlaku, bila dalam perjanjian dinyatakan bahwa tawaran tidak diterima sampai pemberitahuan tentang acceptance diterima.

Sebuah tawaran bisa general atau spesifik. Tawaran bisa ditujukan kepada orang secara umum dan diterima oleh setiap orang yang termasuk dalam kelas di mana

tawaran tersebut ditujukan. Ini biasanya untuk offer yang dibuat melalui iklan di surat kabar. Tapi offer juga bisa ditujukan kepada individu yang spesifik,

misalnya A menawarkan untuk menjual mobilnya kepada B, sehingga hanya A yang bisa menerima tawaran tersebut.

Sebuah tawaran terbuka samapi dia diterima atau sampai ditarik kembali atau berakhir. Sebuah tawaran bisa ditarik kembali oleh offeror setiap saat sebelum

tawaran tersebut belum diterima. Dalam transaksi melalui pos, sebuah tawaran komplit hanya jika dia telah diterima oleh offeree, sedangkan acceptance

biasanya efektif pada saat surat diposkan. Revocation, seperti halnya tawaran, hanya efektif pada saat diterima oleh offeree. Karena itu, jika A menawarkan

melalui pos untuk menjual barang kepada B, dan B setelah beberapa hari terlambat, menerima tawaran melalui pos itu, revocation oleh A pada waktu itu tidak

berguna kecuali jika revocation tersebut telah sampai di B sebelum B memposkannya surat acceptancenya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar